Kontroversi Hadits Cara Sujud dan Menggerakkkan Telunjuk Saat Tasyahhud

Kontroversi Hadits Cara Sujud dan
Menggerakkkan Telunjuk Saat
Tasyahhud
Di antara sebab berkepanjangannya
kontroversi cara menuju sujud dan
menggerak-gerakkan telunjuk saat tasyahhud
ataukah tidak, karena kedua cara tersebut
masing-masing memiliki dalil yang saling
bertentangan lalu dinilai dan dipahami
secara berbeda oleh para kritikus hadis.
Syekh Al-Albâni –seorang kritikus hadis
kontemporer – mensahihkan sanad hadis
menggerak-gerakkan telunjuk saat tasyahhud padahal
ia telah mendaifkan sanad yang sama ketika
membahas hadis mendahulukan kedua lutut. Tulisan ini
akan membahas bagaimana sesungguhnya kualitas dua
kelompok hadis tersebut berdasarkan standar kritik
hadis.
A.   Cara Sujud
Ada dua hadis yang seringkali diungkap
ketika membahas mengenai gerakan menuju
sujud dalam shalat. Hadis pertama
menuntunkan untuk meletakkan kedua lutut
lebih dahulu sebelum kedua tangan,
sedangkan hadis kedua menuntunkan untuk
meletakkan kedua tangan lebih dahulu
sebelum kedua lutut.
Mendahulukan kedua lutut sebelum kedua
tangan didasarkan pada hadis dari Wâ'il bin
H ujr ra bahwa ia melihat Nabi saw:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﺠَﺪَ ﻳَﻀَﻊُ ﺭُﻛْﺒَﺘَﻴْﻪِ ﻗَﺒْﻞَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻧَﻬَﺾَ ﺭَﻓَﻊَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻗَﺒْﻞَ ﺭُﻛْﺒَﺘَﻴْﻪِ
"Apabila beliau sujud, beliau meletakkan
kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan
apabila bangkit, beliau mengangkat kedua
tangannya sebelum kedua lututnya." (HR. Al-
Tirmidzi, Al-Nasâi, Abu Dâwud) [1]
Sedangkan tuntunan untuk meletakkan kedua
tangan lebih dahulu sebelum kedua lutut
didasarkan pada riwayat dari Abu Hurayrah
ra.:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﺠَﺪَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻓَﻼ ﻳَﺒْﺮُﻙْ ﻛَﻤَﺎ
ﻳَﺒْﺮُﻙُ ﺍﻟْﺒَﻌِﻴﺮُ ﻭَﻟْﻴَﻀَﻊْ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻗَﺒْﻞَ
ﺭُﻛْﺒَﺘَﻴْﻪِ
Apabila salah seorang kalian sujud, maka
janganlah mendekam seperti mendekamnya
onta, hendaklah meletakkan kedua tangannya
lebih dahulu sebelum kedua lututnya. (HR.
Abu Dâwud, al-Nasâi, Ahmad dan al-Dârimi)
[2]
Bagi kita yang belum mengetahui kualitas
dari hadis-hadis tersebut maka untuk
sementara, tidak mengapa memilih salah satu
dari keduanya, yang penting keduanya masih
ada sandaran dalilnya. Dan yang lebih
penting, jangan pernah mendahulukan
kepala, karena sama sekali tidak ada
dalilnya.
Menurut Syekh Muhammad Nâshiruddîn al-
Albâni bahwa hadis pertama dari Wâ'il
berkualitas daif karena di samping Syarîk
yang banyak kesalahannya ini sendirian dan
jalur 'Ashîm bin Kulayb dari Bapaknya
bermasalah, juga karena bertentangan
dengan riwayat Abu Hurayrah yang
dipeganginya yang menuntunkan untuk
meletakkan kedua tangan lebih dahulu dari
pada kedua lutut.[3] Sebaliknya, menurut Ibn
al-Qayyim bahwa justru matan hadis dari
Abu Hurayrah inilah yang kacau dan ada
kesalahan (wahm) sehingga terjadi syâdz
(kejanggalan) berupa keterbalikan (maqlûb)
dan ketidaksinkronan pada kalimat awal
dengan kalimat akhir. Pada kalimat awal
melarang sujud seperti onta, sedangkan pada
kalimat akhir justru menganjurkan supaya
meletakkan kedua tangan lebih dahulu
sebelum kedua lutut, padahal jika dicermati,
cara onta sujud dengan meletakkan dan
menekuk kaki depannya baru kemudian kaki
belakangnya. Inilah yang dikritik habis oleh
Ibn al-Qayyim sebagai kejanggalan dalam
matan hadis ini, seharusnya hadis ini
berbunyi: hendaklah meletakkan kedua lutut
sebelum kedua tangan . [4] Sayangnya redaksi
usulan Ibn al-Qayyim inipun tidak ada
hadisnya. [5] Tetapi ahli hadis lainnya
mencoba mengkompromikannya dengan
menyatakan bahwa itu tidaklah salah dan
tidak bertentangan karena menurutnya lutut
onta itu terdapat di kaki depannya. Di sinilah
masalahnya menjadi kacau dan
membingungkan karena perdebatan
selanjutnya beralih kepada struktur anatomi
onta yakni mana sebenarnya yang disebut
lutut onta dan mana tangan onta yang
kemudian mana yang tidak boleh dilakukan
oleh manusia karena menyerupai cara sujud
onta. [6]
Bagi Imam Ahmad, karena kedua cara
tersebut masing-masing ada dasar hadisnya
maka beliau mempersilahkan untuk dipilih
salah satunya dan tidak usah
dipertentangkan satu sama lain. Memang
bisa jadi Nabi saw melakukan keduanya,
misal: beliau mendahulukan lututnya dari
pada tangannya ketika masih muda dan kuat
bertumpu pada lututnya, namun ketika sudah
mulai tua, dan tidak lagi kuat bertumpu pada
kedua lututnya, maka beliau mendahulukan
kedua tangannya dari pada kedua lututnya.
Bagaimana sesungguhnya kualitas kedua hadis
tersebut?
Sebagaimana kaidah penelitian hadis bahwa
sebelum membahas matan hadis, maka harus
diawali dengan penelitian sanad, walaupun
pemicu awal kenapa hadis tersebut diteliti
muncul dari matan yang tidak singkron, tidak
logis dan meragukan sebagai hadis Nabi saw.
Menurut penelitian penulis bahwa jika al-
Albâni menyatakan hadis dari Wâ'il bin H ujr
yang menuntunkan untuk meletakkan kedua
lutut lebih dahulu adalah lemah sedangkan
hadis dari Abu Hurayrah yang menuntunkan
untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu
adalah sahih, justru hasil penelitian penulis
membuktikan sebaliknya. Jalur hadis dari
Wâ'il yang melalui Syarîk dari 'Âshim bin
Kulayb dari Bapaknya dikritik habis dan
didaifkan oleh al-Albâni, padahal
berdasarkan penelitian penulis terhadap jalur
Syarîk dari 'Âshim dari Bapaknya masih bisa
ditolerir jika ada pendukungnya dari jalur
sanad yang lain. Periwayat Syarîk menurut
Ahmad: ia jujur, Ibn Ma'în: jujur terpercaya,
Abu Dâwud: terpercaya namun kadang salah,
Abu H âtim al-Râzi dan Ibn H ajar adalah
jujur namun cukup banyak kesalahannya.
Sementara itu 'Âshim ini dinilai tsiqah oleh
Ibn Ma'în & al-Nasâi sehingga Muhammad
bin Sa'ad menilainya bisa dijadikan hujjah.
Imam Ahmad: Tidak ada masalah dengannya.
Ibn H ajar menilainya shadûq/jujur meskipun
dituduh murji'ah. Menurut al-Tirmidzi, hadis
ini hasan gharîb (hasan namun hanya punya
satu jalur), padahal 'Ali bin al-Madini
memberikan catatan penting tentang jalur
'Âshim bahwa bila sendirian maka hadisnya
tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi ternyata
dalam Sunan Abi Dâwud: 383 , selain
menyebutkan jalur Syarîk dst., juga
menyebutkan hadis senada:
ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺳَﺠَﺪَ ﻭَﻗَﻌَﺘَﺎ ﺭُﻛْﺒَﺘَﺎﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ
ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﺗَﻘَﻊَ ﻛَﻔَّﺎﻩُ
"…maka tatkala sujud, beliau meletakkan
kedua lututnya ke tanah sebelum meletakkan
kedua telapaknya." (HR. Abu Dâwud)
Hadis ini melalui Hammâm, dari Muhammad
bin Juh âdah, dari 'Abd al-Jabbâr bin Wâ'il
(w. 112 H), dari Bapaknya dengan sanad
bersambung. Meskipun 'Abd al-Jabbâr tidak
mendengar langsung dari Wâil bapaknya
karena Wâ'il wafat ketika ia masih kecil,
namun ia mendengar hadis Wâ'il melalui
keluarganya, seperti: 'Alqamah kakaknya,
Ummi Yah ya ibunya dan mawlâ/
pengasuhnya. Meskipun hadis ini juga ditolak
al-Albâni karena menurutnya sanadnya
lemah dan matannya bertentangan dengan
hadis Abu Hurayrah yang dipeganginya,
namun karena ada jalur lain yang bisa
menjadi pendukungnya sehingga hadis ini
maqbûl yakni bisa dijadikan hujjah .[7]
Adapun hadis Abu Hurayrah yang disahihkan
al-Albâni tentang larangan sujud seperti onta
dan menganjurkan untuk mendahulukan
kedua tangan lebih dahulu ( ﻭَﻟْﻴَﻀَﻊْ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻗَﺒْﻞَ
ﺭُﻛْﺒَﺘَﻴْﻪِ ), berdasarkan penelitian penulis justru
daif. Kedaifan hadis ini karena semua
periwayatnya mesti melalui 'Abd al-'Âziz bin
Muhammad bin 'Ubayd al-Darâwurdi (w. 187
H) dari Muhammad bin 'Abdullah. Menurut
Al-Thabrâni: banyak hadis 'Abd al-'Azîz Al-
Darâwurdi yang salah (al-Thabrâni, al-
Thabaqât al-Kubra, juz 5 hlm 424). Ahmad
dan Abu Zur'ah juga menilai: hapalannya
buruk, meragukan, dan kadang kebolak-balik
dalam meriwayatkan hadis. Al-Nasa'i
menilainya: bukan orang kuat, tapi di waktu
lain ia & Ibn Ma'în juga menilainya tidak ada
masalah dengannya (Ibn H ajar, Tahdzîb, juz
6, hlm 315). Meskipun al-Albâni menilai
hadis ini sahih, tapi melihat 'Abd al-'Azîz al-
Darâwurdi yang kacau hapalannya dan cuma
sendirian (gharîb) , maka hadis ini harus
ditolak sebagai hujjah. Inilah sebabnya hadis
ini dinilai daif oleh Ibn al-Qayyim karena
kebolak-balik matannya, bahkan diduga kuat
kalimat kedua sebagai tambahan. Hadis yang
biasa dijadikan pendukung yakni hadis yang
melalui 'Abdullah bin Nâfi' al-Shâ'igh (w. 206
H) –meskipun cukup kontroversial–, [8]
ternyata tidak dapat dijadikan sebagai
pendukung hadis di atas karena tidak merinci
bagaimana cara sujud onta tapi Nabi saw
hanya menyebutkan:
ﻳَﻌْﻤِﺪُ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻓِﻰ ﺻَﻼَﺗِﻪِ ﻓَﻴَﺒْﺮُﻙُ ﻛَﻤَﺎ
ﻳَﺒْﺮُﻙُ ﺍﻟْﺠَﻤَﻞُ
"Seorang di antara kalian telah bertopang
dalam shalatnya lalu sujud seperti sujudnya
onta." (HR. al-Nasâ'i, al-Tirmidzi, Abu
Dâwud, al-Bayhaqi).
Demikian pula riwayat dari Nâfi' tentang Ibn
'Umar yang meletakkan kedua lututnya lebih
dahulu, juga tidak dapat dijadikan sebagai
saksi pendukung (syâhid) karena di samping
hanya merupakan hadis mawqûf yang
disandarkan pada Ibn 'Umar, [9] juga Ibn
'Umar sendiri ada kendala pada kakinya
sehingga beliau tidak bisa sujud dan duduk
sebagaimana sunnah mestinya. [10]
Sebaliknya, Ibn Abi Syaybah dalam
Mushannaf- nya (juz 1/263) justru
menyebutkan bahwa 'Umar, Ibn 'Umar, Abu
Hurayrah, dan para tâbi'în lainnya
mendahulukan kedua lututnya sebelum
kedua tangannya. [11]
Penjelasan Matan Hadis
Menurut hemat penulis bahwa Rasulullah saw
pada umumnya melarang sujud menyerupai
binatang seperti onta, anjing, dan binatang
lainnya karena kita adalah manusia yang
memiliki struktur anatomi tersendiri. Lebih
baik memilih dan melaksanakan yang lebih
mudah dan lebih sesuai dengan struktur
manusia dari pada menyerupai binatang.
Jika dicermati, maka posisi berdiri binatang
berkaki empat sudah siap menuju sujud,
yakni kaki depan sebagai perlambang tangan
sudah lebih dahulu menyentuh tanah, lalu
menyusul lutut depan onta. Kalaupun
diartikan bahwa lutut onta ada di kaki depan
maka pertanyaannya adalah mana bagian
onta yang akan diposisikan sebagai kedua
tangan manusia? Jika dijawab bahwa onta
tidak bertangan, padahal manusia bertangan?
Tetapi kalau diartikan bahwa kaki depan
onta diumpamakan sebagai "tangan"
manusia maka akan lebih mudah dipahami
bahwa semua bagian kaki depan termasuk
"lutut depan" (siku untuk manusia) adalah
bagian dari tangan manusia. Dan Nabi saw
melarang sujud seperti binatang, seperti onta
yang mendahulukan "kedua tangan"nya
(yakni kaki depan onta), melarang sujud
seperti anjing yang menjadikan sikunya
sebagai alas (firasy) menempel di tanah dan
memasukkannya ke dalam kedua ketiak.
Posisi inilah yang dilarang karena lebih
menyerupai posisi binatang berlutut.
Sementara bagi manusia lebih mudah sujud
jika menurunkan kedua lutut sebagai bagian
anggota badan terdekat dengan tanah, lalu
menyusul kedua telapak tangan baru
kemudian wajah (yakni kening dan hidung).
Cara seperti inilah yang ternyata lebih
banyak dipilih para pengikut Mazhab
Hanafiyah dan Syafi'iyah dari pada tangan
dahulu yang dipegangi Mazhab Maliki.
Posisi saat sujud yang benar adalah dengan
menempelkan 7 tulang (sab'at a'dzum) di
tanah yaitu wajah (yakni dahi dan hidung),
kedua tangan, kedua lutut, dan kedua
kakinya (Muttafaq 'alayh). Kedua siku tidak
masuk bagian yang menempel karena akan
menyerupai binatang dan melanggar hadis
yang hanya menyebutkan 7 tulang yang
menempel di tanah. Kedua telapak tangan
diletakkan sejajar dengan kedua telinga (
ﻭَﺳَﺠَﺪَ ﻓَﻮَﺿَﻊَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﺣَﺬْﻭَ ﺃُﺫُﻧَﻴْﻪِ . HR. Ahmad) atau
dalam redaksi yang lain: wajahnya
diletakkan di antara kedua telapak
tangannya ( ﻭَﺿَﻊَ ﻭَﺟْﻬَﻪُ ﺑَﻴْﻦَ ﻛَﻔَّﻴْﻪِ HR. Ibn
Hibbân, atau: ﻳَﺴْﺠُﺪُ ﺑَﻴْﻦَ ﻛَﻔَّﻴْﻪِ / ﺳَﺠَﺪَ HR.
Ahmad, Muslim) di mana jari-jemarinya
dirapatkan ( ﺿَﻢَّ ﺃﺻﺎﺑِﻌَﻪ HR. Ibn H ibbân, al-
Thabrâni, Ibn Khuzaymah) dan dihadapkan
ke arah qiblat (HR. Al-Bayhaqi dan Ibn Abi
Syaybah). Nabi saw juga tidak menjadikan
kedua lengannya sebagai alas dan tidak pula
menggemgam kedua tangannya ( ﻭَﺿَﻊَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻏَﻴْﺮَ
ﻣُﻔْﺘَﺮِﺵٍ ﻭَﻻَ ﻗَﺎﺑِﻀِﻬِﻤَﺎ . HR. Al-Bukhâri, al-
Bayhaqi), tapi menuntunkan agar
mengangkat kedua siku dari lantai (ﻭﺍﺭْﻓَﻊْ
ﻣِﺮْﻓﻘَﻴْﻚَ. HR. Muslim, Ahmad, dan Abu
'Awwânah) dan merenggangkan keduanya
( ﻓَﺮَّﺝَ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ) dari ketiak dan lambungnya
(Muttafaq 'alayh), dan juga merenggangkan
kedua pahanya ( ﻓَﺮَّﺝَ ﺑَﻴْﻦَ ﻓَﺨِﺬَﻳْﻪِ ), tapi tidak
menempelkan perutnya pada kedua pahanya
(HR. Abu Daud dan al-Bayhaqi, dari Abu
H umayd). Nabi saw menuntunkan supaya
mengangkat pantatnya ( ﺭَﻓَﻊَ ﻋَﺠِﻴﺰَﺗَﻪ . HR.
Ahmad, dari al-Barrâ'), namun tidak boleh
berlebih-lebihan dengan memanjangkan
sujud hingga perutnya mendekati lantai
(ﺟَﺨَّﻲ).[12] Yang jelas, Nabi saw
menganjurkan supaya proporsional pada saat
sujud ( ﺍﻋْﺘَﺪِﻟُﻮﺍ ﻓﻲِ ﺍﻟﺴُّﺠُﻮﺩ ), dan jangan seperti
binatang buas atau anjing (Muttafaq 'alayh).
Adapun posisi kedua telapak kaki, ditegakkan
di mana ujung jari kedua kaki dihadapkan ke
qiblat ( ﻭَﺍﺳْﺘَﻘْﺒَﻞَ ﺑِﺄَﻃْﺮَﺍﻑِ ﺃَﺻَﺎﺑِﻊِ ﺭِﺟْﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔَ . HR.
Al-Bukhâri, al-Bayhaqi), tanpa dirapatkan. [13]
Untuk sujud perempuan, memang ada hadis
riwayat Abu Dâwud dalam Kitab al-Marâsîl
(87/117) dari Yazîd bin Abi H abîb bahwa
Nabi saw pernah menyuruh seorang wanita
untuk merapatkan tangannya ke
lambungnya. Namun hadis ini
munqathi' (terputus sanadnya) karena
mursal. [14]
Ketika bangkit dari sujud kedua pada rakaat
ganjil dan akan berdiri pada rakaat genap,
disunnahkan untuk duduk istirahat sejenak
[15] dengan cara iftirâsy [16] kemudian baru
berdiri (HR. al-Jama`ah kecuali Muslim)
dengan menekankan telapak tangan (tanpa
dikepalkan) [17] pada tanah lalu berpegangan
pada kedua paha untuk berdiri tanpa
mengangkat tangan dan langsung sedekap.
Selanjutnya kerjakanlah raka'at kedua ini,
seperti raka'at yang pertama, hanya saja
tidak membaca doa iftitah.
B. Hadis menggerak-gerakkan jari
telunjuk saat tasyahhud
Mengenai menggerak-gerakkan telunjuk saat
tasyahhud atau tahiyyat didasarkan pada
hadis dari Wâ'il yang berbunyi: ﺛُﻢَّ ﺭَﻓَﻊَ ﺇِﺻْﺒَﻌَﻪُ
ﻓَﺮَﺃَﻳْﺘُﻪُ ﻳُﺤَﺮِّﻛُﻬَﺎ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﺑِﻬَﺎ : "Kemudian beliau
mengangkat telunjuknya lalu aku melihat
beliau menggerak-gerakkannya (untuk) berdoa
dengannya." (HR. Al-Nasâ'i, Ahmad, dari
Wâ'il bin H ujr). [18] Tetapi ada hadis yang
berbunyi sebaliknya dari 'Abdullah bin al-
Zubayr bahwa justru Nabi saw tidak
menggerak-gerakkan telunjuk saat tahiyyat:
ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺸِﻴﺮُ ﺑِﺄُﺻْﺒُﻌِﻪِ ﺇِﺫَﺍ ﺩَﻋَﺎ ﻭَﻻ ﻳُﺤَﺮِّﻛُﻬَﺎ : "Beliau
menunjuk dengan telunjuknya bila berdoa, dan
tidak menggerak-gerakkannya" (HR. Al-Nasâi,
Abu Dâwud, al-Bayhaqi, 'Abd al-Razzâq, dari
'Abdullah bin al-Zubayr). [19]
Sebagian ulama berupaya mengkompromikan
kedua hadis tersebut. Al-Bayhaqi misalnya,
berusaha mengkompromikan hadis ini
dengan membahas makna ﻳُﺤَﺮِّﻛُﻬَﺎ dalam hadis
Wâ'il yang tidak selalu bermakna lit-tikrâr
(untuk pengulangan) sehingga berarti
menggerak-gerakkannya, tapi bisa juga
berarti menggerakkannya saja yakni untuk
menunjuk. Jika diartikan demikian maka –
menurut al-Bayhaqi– sudah tidak lagi
bertentangan dengan hadis tidak
menggerakkan telunjuknya riwayat 'Abdullah
bin al-Zubayr. [20]
Sementara itu Al-Albâni menilai hadis
menggerak-gerakkan telunjuk ini sahih
padahal hadis ini melalui 'Âshim bin Kulayb dari
Bapaknya yang telah ia daifkan saat menolak
hadis sujud dengan mendahulukan kedua lutut
sebelum kedua tangan (Lihat al-Silsilat al-
Dla'îfah, juz 2/426). Di sini tampak jelas
inkonsistensi al-Albâni dalam menilai jalur
sanad 'Âshim bin Kulayb dari Bapaknya.
Setelah melakukan penelitian berulangkali
terhadap sanad 'Âshim bin Kulayb dari
Bapaknya ini, penulis sepakat dengan
penilaian 'Ali bin al-Madîni bahwa sanad ini
bisa menjadi maqbûl jika memang ada
pendukungnya. Karena itulah, al-Albâni
mencari pendukung hadis menggerak-
gerakkan tersebut dengan mengutip hadis
aneh dalam Shifat al-Shalâh bahwa
menunjuk/menggerak-gerakkan telunjuk saat
duduk dalam shalat: ﻟَﻬِﻲَ ﺃَﺷَﺪُّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﻣِﻦ
ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺪِ : "Sungguh hal ini lebih keras
dirasakan Syaithan dari pada (cambukan)
besi ." (HR. Ahmad, Musnad, tah qîq al-
Arna'ûth, juz 2, no: 6000 & al-Bazzâr: 2/249).
Tapi hadis ini ternyata daif sekali karena
selain matannya aneh dan mustahil, juga
karena jalur hadis ini melalui Katsîr bin
Zayd yang hampir semua ulama
mendaifkannya kecuali Ibn H ibbân (Lihat al-
Haytsami, Majma'., juz 2, hlm 334, no: 2850).
Karena tidak ada jalur lain yang
mendukungnya, maka hadis ini tetap daif
karena syâdz (menyimpang). Al-Arna'uth
dalam Musnad Ah mad (juz 4/318, no: 18890)
menilai hadis ini sahih kecuali kalimat ﻳُﺤَﺮِّﻛُﻬَﺎ
ﻳَﺪْﻋُﻮ ﺑِﻬَﺎ adalah syâdz karena hanya Zâ'idah
bin Qudâmah (161 H) sendiri yang
meriwayatkannya demikian. Tetapi kalaupun
hadis ini maqbûl khususnya bagi yang
meyakini hadis ini sahih, maka pada matan
al-Nasa'i yang kedua (no: 1268) setelah
kalimat ﻳُﺤَﺮِّﻛُﻬَﺎ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﺑِﻬَﺎ akan ditemukan
kalimat : ﻣُﺨْﺘَﺼَﺮٌ(diringkas) karena memang
sebenarnya hadis dari Wâ'il ini masih ada
tambahan komentar dari Wa'il sendiri
sebagaimana disebutkan Ahmad, al-Thabrâni,
dan Ibn H ibbân. Kata Wa'il selanjutnya:
… ﺛُﻢَّ ﺟِﺌْﺖُ ﺑَﻌْﺪَ ﺫَﻟِﻚَ ﻓِﻲ ﺯَﻣَﺎﻥٍ ﻓِﻴﻪِ
ﺑَﺮْﺩٌ ﻓَﺮَﺃَﻳْﺖُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺍﻟﺜِّﻴَﺎﺏُ
ﺗُﺤَﺮَّﻙُ ﺃَﻳْﺪِﻳﻬِﻢْ ﻣِﻦْ ﺗَﺤْﺖِ ﺍﻟﺜِّﻴَﺎﺏِ ﻣِﻦْ
ﺍﻟْﺒَﺮْﺩِ
"…Kemudian setelah itu aku datang pada
suatu musim yang dingin, lalu aku melihat
orang-orang yang memakai kain menggerak-
gerakkan tangan mereka dari bawah kain
karena kedinginan ." (HR. Ahmad, juz 4/318:
18890; al-Thabrâni, al-Mu'jam al-Kabîr, juz
22/35; Ibn H ibbân, Shah îh , juz 5/170-171)
Membaca lanjutan hadis di atas, tampaknya
Wâ'il ingin mengatakan bahwa Nabi saw
menggerak-gerakkan telunjuknya disebabkan
karena kedinginan sebagaimana umumnya
orang menggerak-gerakkan tangannya bila
kedinginan, bukan sebagai tuntunan yang
disyari'atkan.
Adapun hadis dari 'Abdullah bin al-Zubayr
yang mengatakan bahwa justru Nabi saw
tidak menggerak-gerakkan telunjuk ssaat
tahiyyat: ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺸِﻴﺮُ ﺑِﺄُﺻْﺒُﻌِﻪِ ﺇِﺫَﺍ ﺩَﻋَﺎ ﻭَﻻ ﻳُﺤَﺮِّﻛُﻬَﺎ :
"Beliau menunjuk dengan telunjuknya bila
berdoa, dan tidak menggerak-gerakkannya"
(HR. Al-Nasâi, Abu Dâwud, dari 'Abdullah bin
al-Zubayr) [21] adalah sahih. Semua ahli
hadis –tanpa kecuali– sepakat akan
kesahihannya, sedang al-Albâni hanya
menilainya h asan itupun dengan komentar:
tidak menggerak-gerakkan adalah tambahan
yang syâdz/munkar/ menyimpang.[22] Hanya
saja al-Albâni tidak mampu membuktikan
secara sahih bukti penyimpangannya. Inilah
yang dikritik oleh al-Yamâni terhadap Shifat
al-Shalâh- nya al-Albâni dalam al-Bisyârah fî
Syudzûdz Tahrîk al-Ishba' fi al-Tasyahhud
dengan disertai bukti yang rinci bahwa dari
total 12 jalur sanad hadis yang menyebutkan
tentang hal ini, 11 hadis menyebutkan tidak
menggerak-gerakkan, dan hanya 1 hadis
yang menyebutkan menggerak-gerakkan
telunjuk & ternyata satu inipun bermasalah.
Jika langsung menggunakan metode tarjîh ,
maka hadis yang tidak menggerak-
gerakkannya-lah yang harus dipegangi,
sedangkan hadis yang menggerak-gerakkan
karena menyimpang dan bermasalah
sehingga harus ditolak (mardûd) .
Dari beberapa keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa setelah duduk dengan
tenang, Nabi saw menggerakkan telunjuknya
untuk menunjuk 1 kali di awal duduk saat
mulai membaca tasyahhud: al-tah iyyâtu…,
tidak menunjuk/menggerakkan pada
sebagiannya termasuk saat menyebut illa-llâh
karena tidak ada hadisnya, dan tidak juga
menggerak-gerakkannya secara keseluruhan
karena di samping hadisnya syâdz
(menyimpang & lain sendiri) juga menyalahi
prinsip thuma'ninah (tenang) dalam shalat.
Wa-llâhu a'lam.
* Dosen Mata Kuliah Hadis & Ilmu Hadis pada
Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta; Kepala LPPI
UMY; Anggota Majelis Tabligh & Dakwah
Khusus PP. Muhammadiyah.
[1] Hadis riwayat Al-Tirmidzi: 268;
Al-Nasâ'i: 1089, 1154; Abu Dâwud: 838
semuanya melalui Syarîk bin 'Abdillâh (wafat
177 H), dari 'Âshim bin Kulayb, dari
Bapaknya, dari Wâ'il bin H ujr ra.
[2] HR. Abu Dâwud: 840; al-Nasâ'i:
1091; Ahmad: 8732: al-Dârimi: 1321.
Sebagian riwayat (seperti: Abu Ya'la & Ibn
Abi Syaybah) menggunakan lafal al-fah l yang
berarti kuda jantan, tapi jalur ini sanadnya
dla'îf (Ibn H ajar, Rawdlat al-Muh additsîn, 1/
hlm 370). Menurut al-Tirmidzi hadis ini
gharîb karena semua periwayat hadis ini
melalui 'Abd al-'Âziz bin Muh ammad, dari
Muhammad bin 'Abdullah bin H asan (w.145
H), dari Abu al-Zinâd (w. 130 H), dari al-A'raj
dari Abu Hurayrah ra. Al-Bukhari dalam al-
Târîkh al-Kabîr mengatakan tidak mengetahui
persis apakah Muh ammad bin 'Abdullah bin
H asan mendengarkan hadis dari Abu al-
Zinâd. Tetapi melihat keduanya hidup
sezaman dan sama-sama orang Madinah
maka diduga kuat mereka sangat mungkin
bertemu. Yang menjadi masalah sebenarnya
adalah periwayat yang meriwayatkan hadis
dari Muhammad bin 'Abdullah yakni 'Abd
al-'Âziz bin Muh ammad bin 'Ubayd al-
Darâwurdi (w. 187 H) yang semua periwayat
hadis ini melalui dirinya. Pembahasan
mengenai 'Abd al-'Azîz ini akan dibahas
secara rinci kemudian.
[3] Al-Albâni, al-Silsilat al-Dla'îfah, juz 2 hlm
426; al-Albâni, Tamâm al-Minnah, juz
1/193-199.
[4] Lihat Ibn al-Qayyim al-Jawziyah,
Cara Shalat Rasulullah saw, Jakarta: Pustaka
Al-Akbar, Bab: Cara Sujud ; al-Shan'âni, Subul
al-Salâm, juz 2, hlm 164.
[5] Ada hadis yang disebutkan oleh Ibn al-
Atsîr (wafat 606 H) dalam Jâmi' al-Ushûl fi
Ahâdîts al-Rasûl (juz 5/378 no: 3518) dari
Abu Hurayrah ra yang justru menjelaskan
sifat sujud onta yang meletakkan kedua
tangan lebih dulu sebelum kedua lutut yakni:
‏(ﺩ ﺕ ﺱ‏) ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ – ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ – ﻗﺎﻝ : ﻗﺎﻝ
ﺭﺳﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - : ‏« ﺇﺫﺍ ﺳﺠﺪ ﺃﺣﺪﻛﻢ
ﻓﻼ ﻳْﺒﺮُﻙْ ﻛﻤﺎ ﻳَﺒْﺮُﻙُ ﺍﻟﺒﻌﻴﺮ ، ﻳﻀﻊُ ﻳﺪﻳﻪ ﻗﺒﻞ ﺭﻛﺒﺘﻴﻪ ‏».
Kode ( ﺩ ﺕ ﺱ ) menunjukkan hadis ini
bersumber pada Abu Dâwud, al-Tirmidzi dan
al-Nasâ'i yang ternyata setelah diteliti pada
kitab Sunan asli milik mereka, tidak ada
redaksi seperti yang dikutip dalam Jâmi' al-
Ushûl. Tampaknya hadis inilah yang dikutip
dalam HPT Muhammadiyah (1976, cet-3, hlm
92) yang ternyata tidak ada sumbernya pada
kitab sumber utama (kitab primer) manapun
kecuali disebutkan dalam HPT dikutip dari
Kitab Taysîr al-Wushûl yang belum berhasil
penulis temukan kitabnya namun pasti bukan
kitab primer .
[6] Lihat perdebatan panjang lebar
mengenai mana lutut onta dalam al-Fatâwa
al-H adîtsiyah oleh al-H uwayni, juz 1 hlm
54-57.
[7] Lihat Syakir Jamaluddin (2009),
Shalat Sesuai Tuntunan Nabi saw, hlm 81.
Mengenai 'Abd al-Jabbâr bin Wâ'il, lihat Ibn
H ajar al-'Asqalâni, Tahdzîb, juz 6 hlm 95.
[8] Kontroversi tentang 'Abdullah bin Nâfi'
al-Shâ'igh karena Ahmad menilainya bukan
ahli hadis, tapi murid fanatik dan pembela
Imam Malik; Abu H âtim menilai hapalannya
lemah tapi tulisannya lebih baik dari pada
hapalannya; Al-Bukhâri menilai ada masalah
pada hapalannya, tapi Abu Zur'ah & al-Nasâ'i
menilai tidak ada masalah dengannya,
bahkan Ibn Ma'în menilainya tsiqah. Lihat:
Ibn Abi H âtim, al-Jarh ., juz 5, hlm 183, no:
856; al-Dzahabi, al-Kâsyif, juz 1 hlm 602, no
3017; al-Dzahabi, Siyar A'lam al-Nubalâ', juz
10 hlm 371-373.
[9] Al-Bukhâri dalam Shah îh - nya (1/hlm 276)
mengutip hadis mawqûf ini secara mu'allaq
dari Nâfi' bahwa Ibn 'Umar ﻳَﻀَﻊُ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻗَﺒْﻞَ
ﺭُﻛْﺒَﺘَﻴْﻪِ : meletakkan kedua tangannya sebelum
kedua lututnya. Tapi al-Bayhaqi (2/100, no:
2744), al-Hâkim (1/348: 821), Ibn Khuzaymah
(1/318: 617) menyebutkannya secara marfû'
bahwa Nabi saw melakukan hal itu, padahal
sanad hadis Ibn 'Umar ini melalui 'Abd
al-'Azîz al-Darâwurdi yang terkenal kacau
hapalannya sehingga hadis ini sesungguhnya
lemah. Sayangnya hadis ini dikutip pula oleh
al-H âfidz Ibn H ajar dalam Bulûgh al-Marâm
sebagai pendukung yang menguatkan hadis
Abu Hurayrah tentang larangan sujud seperti
onta.
[10] HSR. al-Bukhâri, 1/284: 793; Mâlik, 1/89:
201
[11] Syakir Jamaluddin, Shalat
Sesuai Tuntunan Nabi saw, hlm 82-83,
footnote 29.
[12] HR. Ibn Khuzaymah, tahqiq: al-
A'dzami juz 1, hlm 326 no: 647; Ibn al-
Mundzir, al-Awsath, juz 4, hlm 396, no: 1397.
Jakhkha berarti: tidak memanjangkan ruku'
dan sujud. Dalam Mu'jam Ibn al-Muqri', juz
2, hlm 316 no: 808, jakhkha berarti
mengangkat perut dari tanah.
[13] Lihat Mah mûd 'Abd al-Lathîf,
al-Jâmi' li Ahkâm al-Shalâh, juz 2, hlm
252-256; al-Albâni, Shifat al-Shalâh, hlm 141;
Himpunan Putusan Majlis Tarjih, hlm 91-93.
Sebagian HR. al-Bayhaqi, al-H âkim & Ibn
H ibbân yang menceritakan bahwa pada suatu
malam 'Aisyah kehilangan Rasulullah &
menemukan beliau sujud dengan merapatkan
kedua tumit ( ﺳَﺎﺟِﺪًﺍ ﺭَﺍﺻًّﺎ ﻋَﻘِﺒَﻴْﻪِ ) ternyata
janggal & daif karena hanya Yah ya bin
Ayyûb al-Ghâfiqi sendiri yang
meriwayatkannya demikian, yang lainnya
tidak (Lihat komentar al-H âkim, 1/353: 832;
Abu Zayd, Bakr bin 'Abdillâh, Lâ Jadîda fî
Ahkâm al-Shalâh, cet ke-3, hlm 36-41).
Mengenai Yah ya bin Ayyûb, hanya al-Albâni
yang menilainya tsiqah, sementara yang
menilainya jujur & shâlih hadisnya hanya
datang dari Ibn 'Addi & Ibn Ma'în, tapi al-
Nasâ'i, Ahmad & al-Dâruquthni menilainya
bukan orang kuat, jelek/kacau hapalannya
serta meriwayatkan banyak hadis munkar ,
Ibn al-Qaththân & Abu H âtim: tidak boleh
dijadikan hujjah. Lihat al-Dzahabi, Mîzân al-
I'tidâl , juz 7/160-162). Muslim (2/51: 1118) &
Ahmad (6/201) misalnya, hanya
meriwayatkan bahwa 'Aisyah menyentuh
atas bagian dalam kedua kaki Nabi saw (ﻋَﻠَﻰ
ﺑَﻄْﻦِ ﻗَﺪَﻣَﻴْﻪِ ) saat sujud, tanpa menyebutkan
merapatkan kedua kaki. Dengan demikian,
jarak antar kaki saat sujud sama dengan
jarak antar kaki saat berdiri, yakni tidak
dirapatkan dan tidak pula terlalu dilebarkan,
tapi proporsional saja sebagaimana yang
diharapkan oleh sunnah Nabi saw.
[14] Lihat Bab Penutup dalam Agung
Danarto, Cara Shalat Menurut HPT., dan Al-
Albâni, Shifat al-Shalât . Hadis mursal adalah
hadis yang diriwayatkan tâbi'în langsung
pada Nabi saw.
[15] Duduk istirahat sejenak ini
dilakukan setelah bangkit dari sujud kedua
sebelum bangkit berdiri menuju rakaat kedua
dan rakaat keempat. Duduk istirahat ini
termasuk sunnah Nabi saw berdasarkan
hadis: ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲ ﻭِﺗْﺮٍ ﻣِﻦْ ﺻَﻼَﺗِﻪِ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻬَﺾْ ﺣَﺘَّﻰ
ﻳَﺴْﺘَﻮِﻱَ ﻗَﺎﻋِﺪﺍً : "Apabila berada pada rakaat
ganjil dari shalatnya, beliau tidak langsung
bangkit hingga duduk tegak." (HSR. Al-
Bukhâri, al-Tirmidzi dan Abu Dâwud). Dan
hadis dari Abu Qilâbah bahwa Mâlik bin al-
Huwayrits mencontohkan tata cara shalat
Nabi saw yakni: ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺭَﻓَﻊَ ﺭَﺃْﺳَﻪُ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺴَّﺠَﺪَﺓِ ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻴَﺔِ
ﺟَﻠَﺲَ ﻭَﺍﻋْﺘَﻤَﺪَ ﻋَﻠَﻰ ﺍْﻷَﺭْﺽِ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻡ : "Dan apabila
mengangkat kepalanya dari sujud kedua, ia
duduk dan bertumpu ke tanah lalu berdiri."
(HSR. al-Bukhâri, juz 1, 283 no: 790; al-
Bayhaqi, juz 2, hlm 135, no: 2631)
[16] Iftirâsy berasal dari kata fa-ra-
sya (membentang) dan firâsy (alas tikar,
kasur). Iftirâsy adalah sebuah istilah yang
menjelaskan cara duduk dengan beralaskan
bentangan kaki kiri.
[17] Tuntunan mengepalkan tangan ke tanah
saat bangkit untuk berdiri didasarkan pada
perbedaan interpretasi pada kata ﻳَﻌْﺠِﻦُ yang
bersumber pada hadis gharîb/ asing dan daif
riwayat al-Thabrâni (al-Awsath, juz 4/213 no:
4007). Kata tersebut disalahartikan dengan
mengepalkan tangan seperti ﺍﻟْﻌَﺎﺟِﻦُ/pembuat
roti saat membuat adonan roti, padahal hadis
ini daif, bâthil bahkan tidak ada sumbernya.
Menurut Ibn al-Shalâh , inilah yang
diamalkan oleh kebanyakan orang Non-Arab
dan dianggap sebagai syari'at dalam shalat
padahal tidak ada pesan tersebut berdasar
hadis yang kuat. Kalaupun hadis ini kuat,
maka maksud al-'âjin di sini adalah orang tua
lemah yang bertopang pada bagian dalam
kedua telapak tangannya di tanah untuk
berdiri, dan ini sangat mirip dengan pembuat
roti yang menekankan kedua tangannya di
lantai, bukan dengan mengepalkannya . Lihat
Ibn al-Mulaqqin, Badr al-Munîr, juz 3 hlm
678-681; Ibn H ajar, Talkhîsh., juz 1 hlm
625-626; Ibn Rajab, Fath al-Bâri li Ibn Rajab ,
juz 5/148.
[18] HR. al-Nasâ'i: 889, 1268; Ahmad:
18391, 18890; al-Dârimi: 1357; Ibn H ibbân:
1860, melalui 'Âshim bin Kulayb dari
Bapaknya, dari Wâ'il bin H ujr. Hadis ini
cukup kontroverisial sanad dan matannya.
Analisis tentang periwayat 'Âshim bin Kulayb
ini sudah disinggung saat menjelaskan hadis
tentang sujud dengan meletakkan lutut lebih
dahulu.
[19] HR. Al-Nasâ'i, no: 1270; Abu
Dâwud: 989; al-Bayhaqi: 2615; Abd al-
Razzâq: 3242, dari 'Abdullah bin al-Zubayr
ra.
[20] Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra,
juz 2, hlm 131-132.
[21] HSR. Al-Nasâ'i: 1270; Abu
Dâwud: 989; al-Bayhaqi: 2615; Abd al-
Razzâq: 3242, dari 'Abdullah bin al-Zubayr
ra. Semua ahli hadis –tanpa kecuali– sepakat
akan kesahihannya, meski al-Albâni
menilainya syâdz /menyimpang.
[22] Lihat Sunan al-Nasâ'i, tah qîq: Abu
Ghuddah, juz 3 hlm 37 no: 1270; al-Albâni,
Silsilat al-Ah âdîts al-Dla'îfah wal-Mawdlû'ah,
juz 12/ 136-138, no: 5572; Al-Albâni, Dla'îf
Abi Dâwûd, juz 1/368-369.
Oleh: Syakir Jamaluddin, S.Ag., MA. * ( Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)

0 comments